
Mengutip pendapat dari Safrizal Rambe, dalam bukunya “ SANG PENGGERAK NAHDLATUL ULAMA” KH. Abdul Wahal Chasbullah Inisiator, Pendiri dan Penggerak, Tumbuhnya kesadara politik KH. Wahab Chasbullah dimulai sejak mendirikan Sarekat Islam (SI) cabang Mekah mau tidak mau harus kita lihat dari konteks kolonialisme di Nusantara.
Sejak kehadiran Belanda empat abad lampau sejarah telah mengukir bahwa umat Islam tidak terkecuali kelompok Islam Tradisi melakukan perlawanan paling kuat kepada kolonialisme. Hal ini dapat kita lihat perang Diponegoro (1825-1830 M). Dalam fase perlawanan ini, tidak heran apabila muncul pemikiran dikalangan Islam Tradisi melakukan panggilan suci membela Islam dan merebut kemerdekaan, harkat dan martabat dihadapan penjajah kafir yang menjadi tujuan akhir adalah puncak dari perjuangan (Jihad).
Upaya perebutan kemerdakaan dari penjajah belanda oleh kalangan Islam tradisi terutama wilayah Jawa pada masa itu mengalami kekalahan. Kendati demikian kelompok elit Islam Tradisi tidak serta menyerah begitu saja. Mereka utamanya yang sebelumnya terlibat dalam pertempuran mereka menyingkir mencari alternatif perlawanan. Alternatif perlawanan yang dimaksud adalah menyiapkan medan perjuangan kulturan, utamanya melalui Pendidikan. Mendirikan pondok pesantren.
Hampir semua pasukan pangeran Diponegoro yang masih hidup melakukan gerakan perlawanan kultur, mendirikan pesantren sebagai wadah untuk meneruskan spirit perjuangan. Salah satu contoh, Kiai Shihah, eyang buyut dari KH. Wahab Chasbullah yang pernah menjadi panglima perang pangeran Diponegoro, kemudian mendirikan pesantren Tambak Beras.
Adanya pengaruh Pendidikan Islam Tradisi di tengah masyarakat membuat gerah pemerintah Hindia Belanda. Pesantren dianggap membahayakan, berpotensi mengacam exitensi pengaruh dihadapan masyarkat pribumi. Akhirnya Belanda mendirikan Pendidikan Barat untuk menandingi dengan menerapkan Pendidikan politik asosiasi. Pendidikan Belanda dibuka untuk kaum pribumi elit. Melalui Pendidikan ala Barat, Alih-alih mendapatkan legetimasi pengedalian pergerakan kaum pribumi, justru yang didapat belanjda sebaliknya. Para alumni Pendidikan Belanda seperti KH. Wahib muda justru melakukan pengembangan gerakan “Budaya Baru” dikalangan Islam Tradisi dengan mendirikan Sekolah, organisasi, kelompok diskusi (Taswirul Afkar) yang nantinya menjadi kekuatan baru kelompok pribumi melawan penjajah.
Wahab muda sadar, pentingnya menumbuhkan dan kebangkitkan kesadaran Islam Tradisi atas ketertindasan penjajah dan melakukan perlawanan melalui gerakan kultur. Dimulai dari sini lah Wahab dikenal sebagai Kiai muda progresif. Di kalangan Islam Tradisi jasanya amat besar dalam menghubungkan komunitas pesatren dengan modernitas. Wahab muda adalah simbol tokoh pembaharu di kalangan tradisi. Bahkan Martin van Bruinessen menilai kelompok tradisi tidak akan mengenal konsep “Nahdlah” atau kebangkitan apabila tidak ada jasa Wahab muda.
Ide “pembaharuan” dalam bingkai tradisi sebagaimana yang kita kenal dalam pemikiran Wahab adalah pengalaman pendidikan yang diperoleh Wahab muda itu sendiri. Wahab merupakan pemuda yang dibesarkan di lingkungan pesantren. Dilihat dari perjalanan pendidikan keagamaannya ia adalah pemuda pengembara yang sering pindah-pindah pesantren dalam rangka mencari ilmu agama. Hingga pada akhirnya Wahab muda belajar ilmu agama hingga ke Mekah. Selama belajar di Tanah Suci inilah Wahab Muda mengenal konsep “nahdlah”, konsep kebangkitan.
Menurut analisis Suadi Asyari, dalam dunia Islam Timur Tengah “nahdlah” diterjemahkan sebagai “ kebangkitan”, “kebangunan” “ kebangkitan Kembali” atau renaissance untuk mengacu kebangkitan intelektual muslin dan Kristen di timur tengah pada pertengahan abad ke XX. Istilah “nahdlah” secara umum dipakai untuk menyebut konsep kebangkitan atau “ renainssance” yang terjadi sejak pertengahan abad ke 19 hingga Perang Dunia 1. Sebagai Gerakan “nahdlah” bermula dari Syiria dan berkembang pesat di Mesir yang terlihat dari aktifitasnya dan karya para pemikirnya, seperti Bubrus al- Bustani, Bassan Tibi, Jamaluddin Al afgani, Muhammad Abdul, hingga Rosyid Ridha.
Waktu itu perhatian utama para pemikir Muslim merevitalisasi kultur arab kalsik agar dapat sejajan dengan Barat dan melepas dari belenggu, kolonialisme dan menyatukan kekuatan melawan kemandekan. Para ulama Indonesia yang menempuh Pendidikan di Mekah tentu mengenal pemikiran pembaharuan yang menyebar di Timur Tengah ini. Semangat “nahdlah” selanjutnya mereka bawa pulang Kembali ke Hindia Belanda. Diantaranya tokoh tersebut adalah KH. Wahab Chasbullah, kemudian membumikan semangat “nahdlah” ke dalam gerakan.
Dikalangan Islam Tradisi Wahab muda yang berlatar belakang santri menginisiasi berbagai organisasi yang ditujukan untuk membangkitkan umat Islam di dalamnya mengorganisir para ulama ke dalam asosiasi. Menumbuhkan Kesadaran modernisasi gerakan diantaranya gerakan Pendidikan dikalangan dunia pesantren kemudian Wahab mendirikan Nahdlatul Wathan, nahdlatut Tujjar, Taswirul Afkar, Syubbanul Wathan dan pucaknya mendirikan Nahdlatul Ulama. Organisasi inilah yang diharapkan nantinya dapat merevitalisasi (nahdlah) kalangan umat khususnya Islam Tradisi.
*tulisan ini bersumber dari tulisan Safrizal Rambe judul “ SANG PENGGERAK NAHDLATUL ULAMA” KH. Abdul Wahal Chasbullah Inisiator, Pendiri dan Penggerak