DaerahOpini

Penguatan Multiliterasi Untuk Meningkatkan Daya Kritis Santri

Ada beragam cara untuk berkomunikasi dan membuat sebuah makna atau pengertian dalam beberapa mode, misalnya visual, audio, spasial, tingkah laku, dan gestur

Seiring dengan perkembangan dan tuntutan paradigma pendidikan pada abad ke-21 hingga memasuki era digital maka kurikulum yang dikembangkan adalah merubah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).

Literasi sendiri itu sudah sangat berkembang dan tidak hanya terbatas pada kegiatan baca-tulis saja. Namun lebih kompleks pada praktik akulturasi sosial dan budaya yang mengarahkan pembelajar untuk mengenal, memahami, mengaplikasikan, dan membudayakan nilai-nilai sosial budaya tersebut kearah yang lebih baik.

Pada dewasa ini, literasi memunculkan dimensi beragam seperti literasi lingkungan, literasi sastra, literasi media, literasi teknologi, bahkan literasi moral. Para santri mau tidak mau dituntut beradaptasi dengan model pembelajaran ini. Pembelajaran multiliterasi merupakan pembelajaran yang memang dikembangkan dengan berbasis ilmiah.

Adapun istilah lainnya, Literasi Digital misalnya, adalah pengetahuan dan kecakapan menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat dan sesuai dengan kaidah empat pilar ; Etika Digital, Budaya Digital, Keamanan Digital dan Keterampilan Digital yang dianjurkan oleh Kementerian Kominfo

Peran ustadz-ustadzah di pesantren-pesantren hari ini telah mengalami kemajuan dalam pemahaman mengoperasikan alat-alat teknologi dan juga produk platform digital dengan kata lain beliau-beliau sudah melek teknologi.

Para pengajar sudah seyogyanya memiliki cara kreatif dalam menghimbau kepada para orang tua agar tetap dapat mendampingi pemilihan konten dan memberikan pemahaman etika yang baik dalam mengakses pembelajaran secara lebih intensif, konten hiburan, maupun saat santri menggunakan media sosial mereka sewaktu sedang pulang.

Dengan penguatan multiliterasi bagi santri di era digitalisasi tentu ada kaitannya dengan pembelajaran yang menyediakan berbagai strategi untuk membantu peserta didik, (dalam hal ini ; Santri) pada lingkup pendidikan di pesantren-pesantren, supaya para santri memperoleh berbagai pemahaman yang mendalam tentang ide, gagasan dan konsep penting dalam berbagai mata pelajaran yang ada.

Itulah sebabnya pembelajaran multiliterasi menitikberatkan pada keberagaman media, keberagaman budaya, keberagaman konteks keilmuan, keberagaman kecerdasan, keragaman gaya belajar yang menghantarkan peserta didik (murid, atau santri) untuk mencapai kompetensi yang harus dicapai.

Model pembelajaran yang diaplikasikan guru atau ustadz/ustadzah dalam pembelajaran di pondok-pondok mempunyai peranan penting agar peserta didik (murid, atau santri) untuk lebih menguasai materi yang disampaikan dan mengaplikasikannya secara cermat.

Namun ada perbedaan yang signifikan antara peserta didik di sekolah umum atau non pesantren dengan para santri (Orang-orang pesantren). Santri yang mondok atau di asrama tidak hanya mendapatkan materi-materi pelajaran dari tenaga pengajarnya semata. Para santri juga akan memperoleh keberkahan waktu dalam menuntut ilmu selama masih di asrama.

Peran Pak Kiai dan Bu Nyai, para Ustadz dan Ustadzah dalam memberikan pengajaran ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan Agama maupun pengetahuan umum tentu berlandaskan kurikulum pembelajaran yang sesuai kaidah-kaidah yang ada dan beragam tersebut, melainkan juga berbasis kurikulum “sami’na wa atho’na” (artinya kami mendengar dan kami taat).

Para santri telah memperoleh “penghargaan” tertinggi selama mereka mondok dan menuntut ilmu di pesantren, santri tidak hanya mendapatkan ilmu tetapi juga keberkahan ilmu yang diajarkan agar dapat memberikan kemaslahatan. Para santri sudah terlatih untuk gigih dan memupuk proses dengan keikhlasan bukan kepentingan. Santri akan senantiasa ta’dzim baik kepada kitab-kitab, maupun guru-gurunya. Santri harus pintar secara intelektual, dan mandiri dalam memproduksi finansial (secara ekonomi) dan gercep (gerak cepat) untuk beradaptasi dengan kemajuan model pembelajaran, salah satunya santri mampu mengoptimalkan produk-produk teknologi dan menghasilkan output kesalehan sosial yang berbasiskan digital.

Hal yang perlu diutamakan para santri ialah, sedikit perhatian tulus kepada orang lain akan lebih memberi kesan, daripada seribu kata indah yang belum tentu memberi keteladanan.

Jika mengutip dawuh KH Ahmad Mustofa Bisri, (Gus Mus) seorang penyair sekaligus pernah menjadi Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 2014 hingga 2015.

“Santri bukan yang mondok saja, tetapi siapa pun yang berakhlak seperti santri, dialah santri” (21/10).

(Abdul Majid Ramdhani, penulis buku dan alumni Pesantren Al-Hamidiyah, Depok).

Tags

Artikel yang berkaitan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close