Merayakan Tahun Baru Masehi, Bagaimana Kedudukan Hukumnya?

Pergantian tahun baru masehi tidak memiliki makna khusus dalam pandangan Islam. Tahun Baru Masehi hanya merupakan momentum pergantian tahun saja.
Banyak ulama salaf dan khalaf yang memandang pergantian tahun dari sudut sosial. Terlebih bila hidup di tengah keragaman agama, budaya dan tradisi. Maka, banyak ulama yg berfatwa, tidak ada larangan mengucapkan atau merayakan tahun baru.
Artinya, boleh dilakukan dalam kehidupan sosial (mubah) dan tidak masuk dalam kategori bid’ah (tidak Sunnah), bahkan bila dalam merayakannya ada kebaikan yang muncul, maka kegiatan itu menjadi kebaikan,”
Namun juga bisa menjadi sesuatu yg dilarang jika dilaksanakan dengan cara “Maksiat atau munkarot, didalamnya terdapat Minuman keras, judi, dan kemaksiatan lainnya, maka bisa menjadi haram”.
Lalu bagaimana kaum Muslim jika ikut merayakan di malam tahun baru?
Contoh merakannya dengan aktifitas bakar ayam atau bakar jagung berkumpul dg keluarga dengan niat silaturahim menjaga keharmonisan. bahkan didalam nya di isi dengan Tahlil zikir dan ibadah?. Tentu ini baik dan menggandung pahala.
Mungkin banyak kaum Muslim bertanya, kenapa Tahun baru masehi lebih meriah dan banyak kaum Muslim ikut merayakan dengan kembang api itu kan majusi ?.
Peringatan momentum tahun baru dalam pandangan Islam masuk dalam kategori adat istiadat ataupun tradisi yang tidak memiliki korelasi dengan agama.
Lantas jika seseorang merayakan tahun baru Masehi dipandang oleh sebagian kelompok Islam dianggap prilaku yang menyimpang dari ajaran dan dianggap pindah agama?.
Menurut pandangan sebagian orang alim, tindakan tersebut tidak ada hubungannya dengan prilaku diluar jalur ajaran Islam. Menurut pandangan kelompok Islam moderat bagi seorang muslim merayakan tahun baru Masehi boleh-boleh saja. Asal Merayakan pergantian tahun baru tersebut selama tidak diiringi dengan kemaksiatan.
Majusi itu dikenal dengan penyembah api lantas yg masang kembang api lgsg dibilang penyembah majusi.
Sebagai studi kasus. Mungkin ada kembang api dipakai buat acara Maulid dibilang tasyabuh juga. Ini soal budaya sosial, makanya jangan terlalu kaku dalam budaya atau tradisi.
Tasyabbuh adalah sebuah usaha seseorang untuk meniru sosok yang dikaguminya, baik dari tingkah laku, penampilan, hingga sifat-sifatnya dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Yang dimaksud dengan tasyabbuh sendiri sebenarnya lebih kepada meniru perbuatan kaum Yahudi maupun Nasrani.
Kembali ke persoalan meniru, Kita tidak bisa mengatakan itu tasyabuh. Contoh lain, Masjid dijaman Rosullullah itu tidak pakai kubah. Justru kubah itu awal sejarah majusi dan Nasrani dulu Makai kubah. Ditempat ibadahnya setelah Rosullullah wafat banyak sahabat yg melihat kubah di tempat ibadah majusi.
Ketika Islam berkembang sampai Persia, daerah di mana agama Zoroaster berkembang, yang kalau dalam Islam kita mengenal sebagai Majusi. Lalu orang-orang Islam melihat ada menara cukup tinggi di bangunan-bangunan masyarakat Persia. Diadopsilah itu untuk tempat mengumandangkan azan,”
Jadi Kubah masjid itu asalnya dari bangunan masyarakat Persia kemudia di adopsi Islam, lalu km mau sebut juga Tasyabuh menyerupai mereka.
Makanya memahami dalil Tasyabuh jangan sampai keliru, karena hour alat komunikasi pakaian kendaraan mewah petasan dll yg kita pakai itu buatan di luar Islam jadi ketika kita memakainya apakah dibilang menyerupai mereka dan Tasyabuh.
Sayyid Abdurrahman dalam Bughyah al-Mustarsyidin menjelaskan senarai hukum tasyabbuh”.
Konteksnya – sekali lagi – masih tentang pakaian non-muslim. Menurut Mufti Hadramaut Yaman di masanya ini, tasyabbuh memiliki tiga dampak, yaitu adakalanya menyebabkan kufur, berdampak dosa, dan makruh.
bahkan mubah (Boleh selagi terhindar dari maksiat dan munkarot.
حَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ العُلَمَاءُ فِي التَّزَيِّي بِزَي الكُفَّارِ أَنَّهُ إِمَّا أَنْ يَتَزَيَّا بِزَيِّهِمْ مَيْلاً إِلَى دِيْنِهِمْ وَقَاصِداً التَّشَبُّهَ بِهِمْ فِي شَعَائِرِ الكُفْرِ أَوْ يَمْشِيَ مَعَهُمْ إِلَى مُتَعَبَّدِهِمْ فَيَكْفُرُ بِذَلِكَ فِيْهِمَا وَإِمَّا أَنْ لاَ يَقْصُدَ كَذَلِكَ بَلْ يَقْصُدُ التَّشَبُّهَ بِهِمْ فِي شَعَائِرِ العِيْدِ أَو التَّوَصُّلَ إِلَى مُعَامَلَةٍ جَائِزَةٍ مَعَهُمْ فَيَأثَم وَإِمَّا أَنْ يَتَّفِقَ لَهُ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ فَيُكْرَهُ. (بغية المسترشدين, 248)
“Kesimpulan dari penjelasan para ulama mengenai hukum berpakaian dengan pakaian orang kafir adalah bahwa jika berpakaian dengan pakaian mereka karena condong kepada agama mereka dan bermaksud menyerupai mereka dalam simbol-simbol kekufuran, atau berjalan bersama mereka ke tempat ibadah mereka, maka dia kafir sebab melakukan hal itu. Apabila tidak bermaksud seperti itu, namun bermaksud menyerupai mereka dalam simbol-simbol hari raya mereka, atau mengantarkan (seorang muslim) pada muamalah yang boleh bersama mereka, maka dia berdosa. Apabila melakukan hal yang sama tanpa bermaksud menyerupai mereka, maka hukumnya makruh.”
Begitu juga memakai lepis celana kaos topi dan HP kendaraan seperti orang kafir maka tdk bs dikatakan Tasyabuh menyerupai mereka dan masuk km kebagian mereka, yang dimaksud Tasyabuh adalah menyerupai mereka dengan menggunakan simbol merek serta meyakini agama mereka bahkan mengikuti ibadah mereka Non muslim maka itu dilarang.
kesimpulan
Bagi yang tidak ingin merayakan tahun baru Masehi silakan… Yang penting jangan saling Menyalahkan atau menjustifikasi Tasyabuh kepada orang ke lain.
Begitu juga yg merayakan tahun baru Masehi karena sdh menjadi tradisional, hukumnya boleh, selagi ia tdk meyakini mengikuti ibadah agama mereka dan tdk melanggar syari’at maka boleh jika didalamnya di isi dg silaturahim dan berdoa selagi tdk dirayakan dg kemaksiatan.
Jangan mudah mengucapkan Tasyabuh kpd orang lain… “*
Karena selagi itu tdk merubah Aqidah dan tdk melenceng dari Syariat maka itu bukan disebut Tasyabuh.
Salam Ki Kelana Wakil Ketua LDNU Kota Depok.