Pesantren

Menjadi Santri yang Penulis, Demi Melestarikan Akar Tradisi Literasi Santri

Apa yang lebih menarik dalam hidup ini selain mencari sesuatu untuk menemukan pengalaman dan hal-hal baru. Hampir semua orang bekerja mencari, kendati pun apa yang mereka cari tidak selalu ditemukan dan didapatkan. Sejak dilahirkan sebagai manusia, manusia sudah dibekali naluri mencari. Beraneka ragam hal acapkali dicari seiring kebutuhan dan kepentingan.

Dalam perkembangan siklus ilmu pengetahuan, naluri manusia untuk mencari dan menemukan apa yang mereka cari sudah terbukti dengan lahirnya berbagai macam ilmu pengetahuan yang terus menerus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Salah satu bukti dari dinamika keilmuan itu telah berkembang adalah dengan semakin menggeloranya dunia literasi atau kepenulisan.

Dengan menulis, seseorang telah berupaya meneguhkan eksistensi keilmuan mereka dalam ranah kehidupan yang terus semakin kompetitif. Maksudnya, seseorang akan diakui telah memberi kontribusi atau sumbangan berharga, jika ia mampu menuangkan ilmu yang dimilikinya paling tidak dalam sebuah karya nyata.

Siapa yang tidak kenal beliau KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama yang sangat terkenal dengan segala kelebihannya. Beliau adalah ulama pendiri NU (Nahdlatul Ulama) dan yang perlu para santri teladani dari sosok KH. Hasyim Asy’ari ini adalah perihal produktivitas beliau dalam hal menulis, apalagi yang beliau tulis adalah sebuah kitab, karya kitab-kitab yang telah masyhur di kalangan para ulama Nusantara tersebut sebagai jalan kita juga dalam mempelajari Ilmu Agama hingga sampai saat ini, di era transformasi pendidikan modern.

Di antara kitab-kitab itu adalah Al-Qalaid Fi Bayani ma Yajib Min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah, al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan juga kitab-kitab yang lainnya. Kebiasaan aktivitas menulis beliau inilah yang patut kita contoh sebagai santri muda di zaman modern ini.

Para santri boleh sekali berkarya dengan menulis buku fiksi misalnya, seperti kumpulan puisi, kumpulan cerpen atau bahkan novel. Sebagaimana penulis kenamaan di negeri ini yang berlatar belakang santri atau orang-orang pesantren dengan karya-karya buku spektakulernya.

Karena banyak penulis hebat di Indonesia yang berlatar belakang pendidikan pondok pesantren. Karya-karya buku mereka menginspirasi sekaligus menjadi medan dakwah yang tidak hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin Indonesia tetapi juga sampai luar negeri (manca-negara).

Ada penulis Ahmad Tohari, Habiburrahman El Shirazy, Ahmad Fuadi dan juga penulis wanita Khilma Anis yang buku (Hati Suhita) telah diangkat ke layar lebar, mereka semua merupakan novelis Indonesia yang patut dijadikan teladan.

Menulislah dengan menggunakan hati, bukan dengan catatan kaki. Menjadi seorang penulis adalah keistimewaan. Profesi penulis bagi sebagian besar orang adalah sarana untuk menyampaikan kebenaran, hingga turut menginspirasi dalam mencerdaskan generasi bangsa di masa yang akan datang.

Menulis adalah upaya idealisasi kaum santri melalui kata-kata dalam memberikan respon atas kenyataan zaman yang acapkali jauh dari yang diharapkan.

Adapun beberapa teknik dalam proses menulis, salah satunya: Teknik Pomodoro, adalah pola proses menulis dengan mengandalkan pendekatan produktivitas yang paling populer di kalangan penulis ini bertujuan melatih kefokusan dalam menemukan diksi-diksi dan penggunaan bahasa yang selain memiliki kaidah-kaidah tata bahasa juga bahasa yang mudah dicerna oleh para pembaca.

Biarkan kata-kata menemukan sendiri ‘pasangan’ aspirasi diksi-nya. Karena dahsyatnya kemauan dalam membuat sebuah tulisan itu bisa menjadikanmu lebih berpikir optimis, kritis dan bukan sinis. Sehingga aktivitas menulis dapat membangkitkan sisi romantis dan humanis seorang individu, termasuk bagi kaum santri.

Santri yang dulu sering disebut sebagai kelompok kalangan tradisional, sekarang sudah tidak lagi disebut demikian. Santri sudah banyak mengalami perkembangan dan tentu mudah beradaptasi dengan berbagai kemajuan transformasi teknologi.

Santri bukan hanya orang yang berkutat dengan kitab kuning saja yang terkesan ketinggalan zaman. Tetapi, santri pada era masa kini sudah akrab sekali dengan internet, media sosial dan tidak ‘alergi’ terhadap tuntutan zaman. Pertanyaannya, “sebenarnya siapa yang ketinggalan zaman?.”

Peran kiai sebagai inspirasi menulis santri tentu tidak dapat dipungkiri. Dalam aktivitas menulis para kiai selalu memperjuangkan nilai- nilai luhur pesantren, dan itu tidak bisa dilepaskan dari pokok-pokok ajaran Islam rahmatan lil’alamin.

Para santri muda harus berani “meng-upgrade” atau merubah orientasi dari akar tradisi literasi pesantren yang tergolong masih sangat minim, dengan menjadi santri yang penulis, atau penulis yang santri pada momentum istimewa di Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2022 dengan jargon, “Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan”

Santri muda hari ini selain harus berani bicara, juga harus berani berkarya dengan menulis, hiduplah dengan bergaya sederhana, tetapi maju pemikirannya serta berani mengambil keputusan untuk menolak jalan instan demi mendapatkan sesuatu dengan segala cara. Santri muda hari ini harus menjaga martabat kemanusiaan. Sebagaimana nasehat Sayyidina Ali ; Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.

Menulis dapat dipahami sebagai upaya seseorang untuk melengkapkan atau menyempurnakan sisi kemanusiaannya dan dengan menulis akan menjadikan seseorang lebih optimis, romantis dan humanis. (02/10),

(Abdul Majid Ramdhani, penulis merupakan lulusan Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, yang juga aktif di Lesbumi Tangerang Selatan dan telah menerbitkan beberapa buku)

Artikel yang berkaitan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close