DaerahLembaga & OtonomNasionalTokoh

KH Achmad Sjaichu, Ketua LTM NU Pertama

Tepat hari ini, pada 9 Februari merupakan Hari lahir (Harlah) Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama (LTM NU) terbentuk pada Tahun 1971 di Surabaya. Dengan nama awalnya adalah Hai’ah Ta’miril Masjid Indonesia (HTMI). 

Berjalannya waktu kemudian HTMI berubah menjadi Lembaga Takmir Masjid Indonesia (LTMI) pada Muktamar NU ke-31 di Solo (2004). LTM NU merupakan hasil Muktamar NU ke-32 di Makassar (2010). 

Dan tercatat bahwa KH Achmad Sjaichu menjadi Kiai Nomer Wahid menduduki posisi ketua dalam sejarah kepemimpinan LTM NU.

Adapun para Ketua LTM NU dari masa ke masa adalah: KH Achmad Sjaichu (1971-1981), KH Ayatullah Saleh (19711986), KH Achmad Syaikhu Rotib (1986-1991), KH lrfan Zidny (1991-1996), H M Sutrisno Hadi (1996-2004), H Syarifuddin Muhammad (2004-2010), KH Abdul Manan A Ghani (2010-2015), KH Mansyur Syaerozi (2015-2021), KH Mansyur Syaerozi (2022-2027)

KH Achmad Sjaichu merupakan muassis Pesantren Al-Hamidiyah Depok yang lahir Selasa Wage, 29 Juni 1921 di daerah Ampel, Surabaya. Ia putra bungsu dari dua bersaudara putra pasangan dari Ayah bernama H. Abdul Chamid dan Ibu Hj Fatimah. Pendidikannya lebih banyak ditempuh di pondok pesantren.

Pada usia 2 tahun ia menjadi yatim, ditinggal wafat oleh ayahnya bersama kakaknya yang bernama Achmad Rifa’i, diasuh oleh ibunya dengan tekun dan tabah. Untuk memperoleh pendidikan agama.

Pada usia belianya ia belajar kepada K. Said, guru mengaji bagi anak-anak di sekitar Masjid Ampel. Dan pada usia 7 tahun ia sudah menghatamkan Al-Qur’an 30 Juz.

Ia juga belajar di Madrasah Taswirul Afkar dan Madrasah Nadhlatul Wathan. Keduanya di Surabaya, dan menjadi santri di Pesantren Al-Hidayah, Lasem, Rembang.

Ia dikenal sebagai santri berkepribadian cerdas sejak kecil, pendidikan lebih banyak dilakukan secara otodidak, menguasai secara aktif bahasa Arab, Inggris, dan Perancis.

Diantara guru-gurunya yang paling berjasa menanamkan ilmu agama sekaligus pembimbing spiritual adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah, pendiri NU, yang tak lain ayah tirinya sendiri, dan KH Ma’shom Lasem Rembang, KH. Abdullah, KH. Ghufron untuk belajar ilmu Fiqh.

Ia aktif sebagai sebagai pengajar di Madrasah Nahdlatul Ulama. Di samping mengajar, ia juga menjadi Ketua Tanfidziyah Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) Karang Menjangan. Itulah awal mula ia mulai terlibat di organisasi (Jam’iyah) NU.

Pada kepengurusan NU cabang Surabaya periode 1948-1950, ia ditunjuk sebagai salah satu ketua Dewan Pimpinan Umum (Tanfidziyah), bersama KH. Thohir Bakri, KH. Thohir Syamsuddin dan KH. A. Fattah Yasin. Karier sjaichu di organisasi terus menanjak dengan cepat. Pada tahun 1952, ia diangkat menjadi Ketua Fraksi Masyumi di DPRDS Kota Besar Surabaya. Ia juga menjadi Presiden Dewan Pusat Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA) di tingkat Internasional.

Untuk menyempurnakan pengabdiannya kepada masyarakat, pada tahun 1978, Kiai Sjaichu mendirikan Lembaga Dakwah Ittihadul Muballighin. Dan puncaknya, pada tahun 1988, Kyai Sjaichu mendirikan Pesantren di bawah naungan Yayasan Islam Al-Hamidiyah, nama yang dinisbatkan kepada ayahandanya, H. Abdul Chamid. Kini, lembaga pendidikan warisan Kiai Sjaichu telah berkembang pesat dan memiliki unit pendidikan semua jenjang, mulai dari TK, SDIT, SMPI, MTs, MA, hingga Sekolah Tinggi Agama Islam.

Jejaknya di Pesantren Al-Hamidiyah meninggalkan kepada santri-santrinya Pengurus Ta’mir Masjid, yang menjadi wadah organisasi santri untuk berkhidmat di Masjid Jami Al-Hamidiyah.

Pewarta : Abdul Mun’im Hasan

Tags

Artikel yang berkaitan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close