AqidahKeislaman

Hukum Memakai Cincin Batu Akik dan Azimat Asma Allah

Oleh Ki Kelana

Suatu hari, serombongan orang datang menemui Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah membaiat 9 orang dan tersisa 1 orang. Mereka berkata : “Ya Rasulallah, Anda membaiat 9 orang di antara kami dan tidak pada orang ini”. Rasulullah bersabda : “Padanya terdapat “tamimah (jimat)”. Lalu Rasulullah memasukkan tangan beliau dan memotong jimat itu, baru kemudian beliau membaiatnya. Beliau bersabda : “Barang siapa yang mengalungkan tamīmah, maka ia menyekutukan (syirik) Allah”. (Musnad Ahmad bin Hambal 4/156)

Beberapa orang setelah membaca hadits di atas akan serta merta mengatakan bahwa memakai jimat adalah hal yang dilarang dalam Islam. Ditambah dengan adanya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitab Haditsnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda :

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya Ruqyah (suwuk),Tamīmah (jimat) dan Tiwālah (pengasihan) adalah syirik”. (Sunan Abi Dawud 4/10).

Juga banyak beredar meme bertuliskan hadits riwayat Bukhari dari Sahabat Ibn Abbas bahwa Rasulullah bersabda :

يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ هُمُ الَّذِينَ لاَ
يَسْتَرْقُونَ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Ada 70.000 orang dari umatku yang akan masuk surga tanpa melalui hisab, yaitu orang-orang yang tidak pernah beruqyah dan tidak pernah merasa sial dan bertawakkal kepada Tuhannya” (Shahih Bukhari 8/124).

Maka sebenarnya bagaimana pandangan islam tentang Jimat, Suwuk (Ruqyah) dan semacamnya?

Syekh Abu At-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-Adzim Abadi dalam Kitab ‘Aun al-Ma’būd Syarh Sunan Abī Dāwud berkata :

وَالتَّمِيمَة يُقَال إِنَّهَا خَرَزَة كَانُوا يُعَلِّقُونَهَا يَرَوْنَ أَنَّهَا تَدْفَع عَنْهُمْ الْآفَات وَاعْتِقَاد هَذَا الرَّأْي جَهْل وَضَلَال إِذْ لَا مَانِع وَلَا دَافِع غَيْر اللَّه سُبْحَانه، وَلَا يَدْخُل فِي هَذَا : التَّعَوُّذ بِالْقُرْآنِ وَالتَّبَرُّك وَالِاسْتِشْفَاء بِهِ لِأَنَّهُ كَلَام اللَّه سُبْحَانه وَالِاسْتِعَاذَة بِهِ تَرْجِع إِلَى الِاسْتِعَاذَة بِاَللَّهِ ، إِذْ هُوَ صِفَة مِنْ صِفَات ذَاته

“Tamimah (jimat) adalah sebutan untuk tulang yang dikalungkan oleh mereka dengan meyakini bahwa hal itu mencegah terjadinya mara bahaya. Keyakinan semacam ini adalah bodoh dan sesat. Sebab tidak ada yang dapat menolak dan mencegah terjadinya bahaya kecuali Allah Swt. Namun berlindung, bertabarruk (berharap keberkahan) dan berobat dengan Al Qur’an tidak masuk dalam hal ini, karena merupakan bagian dari kalam Allah. Maka berharap perlindungan dengan kalam Allah adalah berharap perlindungan kepadaNya, sebab itu adalah sebagian dari beberapa sifatNya”.

Dalam halaman yang lain beliau berkata :

قَالَ الْخَطَّابِيُّ : وَأَمَّا الرُّقَى فَالْمَنْهِيّ عَنْهُ هُوَ مَا كَانَ مِنْهَا بِغَيْرِ لِسَان الْعَرَب فَلَا يَدْرِي مَا هُوَ وَلَعَلَّهُ قَدْ يَدْخُلهُ سِحْرٌ أَوْ كُفْرٌ وَأَمَّا إِذَا كَانَ مَفْهُومَ الْمَعْنَى وَكَانَ فِيهِ ذِكْرُ اللَّه سُبْحَانه فَإِنَّهُ مُسْتَحَبّ مُتَبَرَّك بِهِ وَاَللَّه أَعْلَمُ

“Al Khatthaby berpendapat bahwa ruqyah yang dilarang adalah yang tidak menggunakan bahasa Arab, sehingga tidak diketahui maknanya dan khawatir termasuk sihir dan kufur. Namun apabila dapat difahami maknanya dan termasuk dzikir di dalamnya, maka itu sunnah dan mendatangkan barakah. Wallahu A’lam”.

Syekh Ahmad bin Ali bin Hajar Abu Al Fadl Al Asqalany As Syafi’i dalam kitab Fath al-Bari berkata :

وقد أجمع العلماء على جواز الرقي عند اجتماع ثلاثة شروط أن يكون بكلام الله تعالى أو بأسمائه وصفاته وباللسان العربي أو بما يعرف معناه من غيره وأن يعتقد أن الرقية لا تؤثر بذاتها بل بذات الله تعالى

“Ulama sepakat atas bolehnya Ruqyah bila memenuhi 3 syarat :

Menggunakan Kalam Allah, Asma atau Sifat-sifatNya.
Dengan bahasa arab atau bahasa lain yang difahami maknanya.
Meyakini bahwa ruqiyah tidak memberi dampak lantaran dzatnya sendiri tapi dengan lantaran dzat Allah SWT”.

Sampai di sini, jelas bisa diambil kesimpulan bahwa jimat dan ruqyah tidak serta merta mengakibatkan kesyirikan. Asalkan memenuhi kriteria diatas maka boleh bagi setiap muslim untuk memanfaatkannya.

Bahkan beberapa Ulama ada yang lebih memberikan kelonggaran terhadap ruqyah atau suwuk yang menggunakan bahasa selain bahasa arab atau bahasa yang tidak difahami maknanya sekalipun. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim dari Sahabat Auf bin Malik RA. dia berkata :

كنا نرقى في الجاهلية فقلنا يا رسول الله كيف ترى في ذلك فقال اعرضوا علي رقاكم لا بأس بالرقى ما لم يكن فيه شرك

“Kami pernah beruqyah pada masa jahiliyah. Maka kami berkata : “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang itu? Rasulullah menjawab : “Tunjukkan padaku ruqyah kalian, tidak mengapa beruqyah asal tidak mengandung kesyirikan”.

Dalam riwayat Sahabat Jabir diceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. melarang ruqyah. Lalu keluarga Amr bin Hazm datang kepada beliau dan berkata :

عندنا رقية نرقى بها من العقرب قال فعرضوا عليه فقال ما أرى بأسا من استطاع أن ينفع أخاه فلينفعه

“Kami mempunyai ruqyah untuk mengobati sengatan Kalajengking. Rasulullah bersabda : “Tunjukkan padaku!” Kemudian beliau bersabda : “Aku tidak melihat bahaya (pada ruqyah kalian), maka barang siapa yang mampu memberikan kemanfaatan untuk saudaranya, berikanlah”

Dan dari keumuman Hadits diatas inilah, Ulama berkesimpulan pada hukum boleh untuk setiap tindakan ruqyah yang jelas manfaatnya walaupun menggunakan bahasa yang maknanya tidak difahami atau tidak masuk akal. (Fath al-Bari 10/195)

Pemakaian Jimat dan praktek ruqyah yang banyak kita temui di kalangan muslim tetap membutuhkan pendampingan dan penjelasan bahwa hakikat penyembuh, pemberi manfaat dan pencegah bahaya adalah Allah Swt, tidak lantas dipojokkan dengan tuduhan sesat bahkan syirik. Karena Rasulullah pernah di-ruqyah oleh Malaikat Jibril (Syarh Muslim Li An Nawawy, 7/325).

Artikel yang berkaitan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close