FikihKeislaman

Hukum Jama’ Qashar Shalat Saat Rekreasi dan Berlibur

Agama Islam merupakan agama yang banyak memberikan pengertian, perhatian, serta kepedulian pada setiap insan yang menganutnya. Tanpa terkecuali pada perihal safar (bepergian).

Dalam ajaran Islam setiap muslim itu harus melaksanakan shalat maktubah (fardhu) tepat pada waktunya. Terkait dengan hal ini tentu akan menjadi persoalan tersendiri bagi seorang muslim yang ingin bepergian, namun di lain sisi juga harus tetap melaksanakan ibadah wajib sebagai bentuk pertanggungjawaban dan pengabdian kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa Agama Islam merupakan agama yang pengertian dan perhatian. Dengan ini Allah Subhanahu Wata’ala memberikan keringanan (rukhshah) bagi setiap muslim yang bepergian untuk melaksanakan shalat secara jama’ dan qashar, meskipun tujuan bepergiannya adalah untuk rekreasi dan jalan-jalan.

Syekh Ibnu Hajar al Haitami dalam Fatawa al Fiqhiyyah al Kubra menyebutkan bahwa rekreasi dan jalan-jalan merupakan tujuan yang diperbolehkan dalam syariat Islam.

بِأَنَّ التَّنَزُّهَ غَرَضٌ صَحِيحٌ يُقْصَدُ فِي الْعَادَةِ لِلتَّدَاوِي وَنَحْوِهِ كَإِزَالَةِ الْعُفُونَاتِ النَّفْسِيَّةِ وَاعْتِدَالِ الْمِزَاجِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.

Artinya:
Tanazzuh (rekreasi) adalah tujuan yang sah dan diperbolehkan secara lumrah untuk pengobatan (refleksi) diri, seperti dengan tujuan menghilangkan kepenatan, meningkatkan semangat (motivasi), dan lain sebagainya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa jama’ dan qashar shalat diperbolehkan jika bepergiannya seorang muslim itu memiliki tujuan yang jelas. Adapun jika tujuannya hanya berkeliling dan berputar-putar tanpa maksud yang jelas, tidak ada manfaatnya dan hanya membuang waktu saja. Maka Syekh Ibnu Hajar al Haitami menyarankan untuk tidak melakukan jama’ dan qashar. Tidak hanya itu, dalam bepergian seyogyanya seorang muslim menghindari dan menjauhi hal-hal yang tidak berguna, munkar, dan mengarah pada kemaksiatan.

Selain dengan dasar tujuan bepergian yang jelas, rukhshah (keringanan) itu akan diperoleh oleh seorang muslim jika jarak bepergiannya itu lebih dari 89 Kilometer. Lantas bagaimana jika seorang muslim memilih untuk menempuh jalan yang lebih jauh padahal ada jalan yang lebih dekat? Mengenai hal ini Imam Nawawi dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab berpendapat.

وَإِنْ بَلَغَ أَحَدُ طَرِيقَيْهِ مَسَافَةَ الْقَصْرِ وَنَقَصَ الآخر عنها فان سلك الابعد لغرض من الطَّرِيقِ أَوْ سُهُولَتِهِ أَوْ كَثْرَةِ الْمَاءِ أَوْ الْمَرْعَى أَوْ زِيَارَةٍ أَوْ عِيَادَةٍ أَوْ بَيْعِ مَتَاعٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَقَاصِدِ الْمَطْلُوبَةِ دِينًا أَوْ دُنْيَا فَلَهُ التَّرَخُّصُ بِالْقَصْرِ وَغَيْرِهِ مِنْ رُخَصِ السَّفَرِ بِلَا خِلَافٍ وَلَوْ قَصَدَ التَّنَزُّهَ فَهُوَ غَرَضٌ مَقْصُودٌ فَيَتَرَخَّصُ

Artinya:
Jika ada dua jalan yang satu mencapai jarak boleh qashar dan satunya tidak. Lalu jarak yang lebih jauh ditempuh karena jalannya lebih lancar, mudah dalam perbekalan, atau tujuan ziarah, mengunjungi atau menjenguk seseorang, serta tujuan lainnya baik dalam hal agama atau dunia, maka ia boleh mengqashar shalat dan mendapatkan keringanan ibadah lainnya dalam perjalanan. Termasuk jika bermaksud hanya untuk rekreasi, karena iru merupakan tujuan yang jelas, maka ia juga mendapatkan rukhshah (keringanan).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rekreasi merupakan tujuan perjalanan yang diperbolehkan dalam agama Islam. Kemudian jika dalam perjalanan seorang muslim ingin mampir ke suatu tempat, sehingga jarak tempuh menjadi lebih jauh, maka diperkenankan pula melakukan jama’ qashar shalat dan mendapatkan keringanan juga untuk ibadah lainnya. Wallahu a’lam.

Kontributor: Eqtafa Berrasul Muhammad

Tags

Artikel yang berkaitan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close